a.
Konsep
Diri dalam Perspektif Interaksi Simbolik
Perspektif interaksi simbolik melihat konsep diri sebagai informasi yang diperoleh seorang individu mengenai hubungan suatu atau sekelompok objek
dengan dirinya. Disini akan diberikan
dua dimensi dari konsep diri, yaitu:
1)
Pertama,
konsep diri riil yang mengacu pada hubungan diri dengan objek yang telah teruji kebenarannya dan mendapat dukungan dengan interaksi sosial;
2)
Kedua konsep
diri ideal, yang mengacu pada
hubungan diri dengan objek yang menurut
orang bersangkutan itu ada, namun belum teruji dalam interaksi, atau telah teruji namun belum terpelihara dalam interaksi.
Thompson (dalam Kushman & Cahn, 1985) membedakan tiga kelas diri:
1) Pertama diri identitas, yang, bersifat faktual,
terutama berkenaan dengan karakteristik
fisik, usia, jenis kelamin, nama, tempat tinggal, posisi, agama, dst.
2) Kedua, diri evaluatif yang merefleksikan kualifikasi atau komentar atas deskripsi
objektif, atau suatu ekspresi mengenai perasaan
(misalnya, "saat ini saya gembira,
sedih, senang dengan pekerjaan, berbahagian dengan perkawinan").
3) Ketiga adalah diri perilaku, yang mereflesikan sesuatu yang telah dilakukan (misalnya
"saya baru saja kembali dari perjalanan
libur, memancing", dst). Perspektif
interaksi simbolik menggabungkan jenis-jenis diri di atas, sehingga dikenal diri riil, diri ideal,
diri identitas, diri evaluatif dan diri perilaku.
Konsep diri adalah satu set yang terorganisasi dari
informasi yang mendefenisikan
hubungan objek dengan seseorang, yang mampu
memandu dan mengarahkan setiap tindakannya.
Mead (dalam Cushman & Cahn) menyatakan bahwa proses perkembangan konsep diri pada dasarnya adalah proses sosialisasi dan akulturasi. Setiap
individu yang dilahirkan akan langsung berada dalam posisi tertentu dalam
institusi sosiokultural secara keseluruhan.
Setiap posisi memiliki peran. Peran
adalah cara berperilaku yang dipreskripsikan secara sosial dalam situasi tertentu untuk setiap orang yang
menduduki posisi tertentu dalam organisasi sosiokultural.
Dibedakan adanya empat level pengambilan peran, yaitu:
1)
Pengambilan peran dasar, yaitu proses dimana seorang individu secara imaginatif membangun sikap-sikap dan harapan dari posisi-posisi organisasi
sosiokultural.
2)
Pengambilan peran reflektif, yaitu evaluasi mengenai berbagai tuntutan peran dalam hubungannya dengan apa yang disukai dan tidak disukai seorang individu.
3)
Pengambilan peran-pantas, yaitu evaluasi seseorang mengenai sejumlah aspek dari suatu peran secara positif, lalu mereduksi hubungan diri dengan
objek tersebut menjadi
bagian permanen dari kepribadiannya atau konsep diri.
4)
Pengambilan peran sinesik (synesic role taking), yaitu secara imaginatif mengkonstruksikan konsep diri orang lain demikian rupa sehingga mampu memisahkan hubungan diri dengan objek yang bersifat dasar dan
reflektif dari yang
bersifat pantas dan sinesik dari orang lain tersebut, dan dapat mengalamatkan hubungan diri dengan objek yang bersifat pantas dan sinesiknya.
Empat implikasi dari pengambilan peran:
1)
Kesadaran interpersonal yang semakin membesar.
2)
Mengembangkan peranke arah yang lebih bersifat sosial (sinesik).
3)
Memberikan dukungan atau tolakan atas konsep diri
anda.
4)
Menjadi prediktor yang baik
mengenai seberapa lama hubungannya dengan
orang lain akan berakhir.
Dalam kerangka presentasi komunikasi interpersonal
ini ada dua hal yang perlu dilihat, yaitu faktor bahaya dan keterbukaan. Bahaya mengacu pada bagaimana si komunikator membatasi respon orang lain terhadap
pesan-pesannya. Satu hal lagi yang nanti akan dikaitkan dengan pengambilan peran, bahaya dan keterbukaan dalam komunikasi adalah gaya komunikasi.
Dibedakan adanya empat gaya komunikal yaitu :
1)
Gaya konvensional (bila seseorang dalam peran yang bersifat kultural dan
organisasi berbicara dengan orang lain dalam
peran kultural dan organisasionalnya pula);
2)
Gaya interpersonal (seseorang
mengemukakan apa-apa yang secara personal disukai/tak disukainya mengenai peran yang dipreskripsikan
secara sosial);
3)
Gaya manipulatif (seseorang berusaha agar si pendengar dapat menerima hubungan diri dengan
objek yang disukainya),
4)
Gaya terbuka (tidak ada rahasia sehingga bahayanya tinggi) maka hubungan
antara keempat faktor, yaitu pengambilan
peran, gaya komunikasi, bahaya dan keterbukaan, digambarkan
sebagai berikut (Cushman & Cahn,1985).
Figure 4 Hubungan Pengambilan Peran
dan Gaya Komunikasi
|
No.
|
Pengambilan Peran
|
Gaya Komunikasi
|
Bahaya
|
|
1
2
3
4
|
Dasar
Reflektif
Pantas
Sinesik
|
Konvensional
Interpersonal
Manipulatif
Terbuka
|
Rendah
Tinggi
Rendah
Tinggi
|
Apabila konsep diri dipresentasikan dalam interaksi komunikasi, baik dalam bentuk terucap mau pun dalam ujud tingkah laku, ia akan diikuti oleh/dengan proses validasi. Perkembangan konsep diri kita tergantung dari apakah orang memahami, lalu memberikan
dukungan positif terhadap hubungan khusus
diri dengan objek konsep diri kita. Apabila menurut persepsi kita orang lain telah memahami konsep diri kita dan sekaligus mendukungnya, maka telah terjadi validasi konsep diri.
Kelompok ahli Palo Alto yang terdiri dari Rateson, Waltzlawich, Bavelas dan Jackson (dalam Trenholm. 1986)
membedakan adanya dua jenis pesan
yang tersalur di setiap komunikasi interpersonal,
yaitu aspek/level/jenis isi (content), dan
aspek/jenis/level hubungan (relational). Isi adalah pernyataan yang
disampaikan mengenai hal yang dibicarakan, sementara aspek
hubungan menyampaikan informasi mengenai interaksi dalam mana isi tersebut ditransmisikan.
b.
Konsep Diri dalam Perspektif Psikologis
Psikologi, khususnya psikologi sosial melihat konsep diri sebagai suatu organisasi dari sikap-sikap
diri. Suatu sikap memiliki
komponen-komponen berikut:
1)
Keyakinan/pengetahuan atau komponen kognitif,
2)
Komponen afeksi atau emosional,
3)
Komponen evaluasi,
4)
Kecenderungan untuk merespon atau komponen konasi.
Komponen kognitif dari konsep diri berisi
proposisi atau deskripsi mengenai sesuatu
tanpa memandang, apakah pengetahuan/keyakinan itu salah
atau benar, didasarkan atas bukti-bukti objektif maupun
subjektif.
Komponen afektif atau emosional adalah berupa gejolak-gejolak hati,
misalnya, saat ini anda merasa jenuh, takut, sedih,
senang, dan seterusnya.
Komponen afeksi adalah rasa yang menempeli komponen kognitif sehingga berpotensi untuk mendorong tindakan yang relevan
dengan keyakinan/kognisi kita.
Komponen evaluasi, kebanyakan penulis menggunakan istilah, perasaan harga diri,
untuk ini.
Burns (1993) memberikan tiga titik acuan utama
bagi penilaian. Pertama adalah citra diri
ideal (sama dengan istilah konsep diri ideal yang telah disinggung di bagian
depan) yaitu suatu diri yang didambakan,
namun belum diuji dalam interaksi
sosial atau apabila telah teruji, namun belum terpelihara dalam interaksi. Kedua, adalah internalisasi dari penilaian
masyarakat, yaitu berupa persepsi dan keyakinan individu bagaimana orang lain mengevaluasi dia. Ketiga, adalah pengalaman riilnya dalam rentangan relatif
sukses atau relatif gagal dalam melakukan sesuatu yang dituntut oleh identitasnya.
Berikutnya adalah komponen konatif. Ini adalah dalam arti kecenderungan bertindak atau memberi
respon. Suatu objek sikap yang prosesnya
telah melewati tiga yang telah dikemukakan (kognisi, afeksi,
evaluasi) apabila tidak ada suatu konstren yang berarti
akan berlanjut pada terbentuknya
predisposisi untuk terealisasikannya dalam tindakan.
Apabila konsep diri dipandang sebagai
(seperangkat) sikap (yaitu sesuai dengan
perspektif psikologis) itu berarti ia bermula dari kepercayaan seseorang mengenai sesuatu, melalui proses internal seperti tempelan afeksi,
evaluasi,lalu bermuara pada seberapa jauh hal tersebut dapat terealisasi dalam tindakan.
Hal berikutnya yang dianggap penting dalam
perspektif psikologis mengenai konsep diri,
adalah sumber dari konsep diri.
Dari berbagai sumber pembentukan konsep diri, Burns (1993) mengidentifikasi lima sumber yang tam
paknya sangat penting, yaitu :
1) Citra tubuh
2) Bahasa, yaitu kemampuan menkonseptualisasikan diri dan orang lain,
3) Umpan balik yang dipersepsikan dari lingkungan, terutama tentang bagaimana orang-orang yang dianggap penting memandang
pribadi kita, dan bagaimana pribadi kita tersebut dibandingkan dengan norma masyarakat,
4) Identifikasi dengan stereotip peranan jenis kelamin yang sesuai,
5)
Praktek-praktek membesarkan anak
Pada perspektif interaksi simbolik, umpan balik (sinonim dengan validasi konsep diri)
adalah tahapan yang selalu ada dalam
mekanisme perkembangan konsep diri.
Burnsmembayangkan adanya rentangan relatif dari konsep diri, dari konsep diri positif
ke konsep diri negatif atau kalau digunakan istilah perasaan harga diri
(istilah lain untuk konsep diri) maka akan ada harga diri tinggi dan harga diri rendah. Hal penting yang
perlu mendapat perhatian adalah, pada
saat melihat konsep diri sebagai sikap, maka konsep diri, evaluasi diri,
penghargaan atas diri, perasaan harga diri, dan
penerimaan diri, adalah istilah- istilah yang sinonim, dan
untuk selanjutnya akan digunakan dalam maksud demikian.
Ada sejumlah karakteristik kepribadian dari
seseorang yang mempunyai konsep diri/ harga
diri/penghargaan terhadap diri yang rendah, ataupun
sebaliknya yang tinggi, walau hanya bersifat kecenderungan.
Pertama, adalah untuk orang yang menderita konsep
diri rendah. Mereka yang mempunyai perasaan harga diri rendah, sepertinya sedang berada dalam situasi telah atau sedang
mengantisipasi suatu bentuk
penolakan; mereka lalu mencoba berusaha untuk menghalangi penolakan tersebut dengan cara meminimalkan kontak dengan orang lain atau malah dapat
berbalik jadi menyerang orang lain; mereka peka terhadap kritik.
Mereka yang punya harga diri rendah ini, oleh karena yakin dengan
kekurangmampuan diri, mereka menjadi bersifat lebih
tunduk pada pengaruh sosial, sehingga relatif mudah
dipengaruhi oleh komunikasi persuasif,
umumnya berlokus eksternal.Sikap kurang menyenangi orang lain akan ditemukan pada mereka yang kurang menyenangi diri.
Orang yang mempunyai harga diri tinggi. Mereka umumnya mempunyai rasa mampu
diri yang tinggi. Lokusnya biasanya
adalah internal, yang berarti bahwa,
keberhasilan ataupun kegagalan dalam usahanya akan dipersepsinya sebagai tersebab terutama oleh dirinya, sehingga dalam setiap situasi (berhasil atau
gagaI) motivasi berusahanya tinggi. Pada saat
mereka menghadapi kegagalan, ada dua kemungkinan
reaksi mereka, (1) bergaya defensif,
misalnya mendeskreditkan sumber kegagalan tersebut, (2) tidak begitu terpengaruh, oleh karena kegagalan bagi mereka bukanlah ancaman. Oleh sifat percaya
diri yang tinggi, mereka kurang rentan terhadap pengaruh,
terutama pengaruh antar pribadi. Secara keseluruhan, mereka yang punya harga diri tinggi ini, dikendalikan oleh pengharapan-pengharapan dari orang lain,
namun dengan amat mempertimbangkan motivasi, sasaran dan kemampuan mereka sendiri, yang mereka nilai lebih
tinggi.Pemilik harga diri tinggi ini
bersifat mengasihi orang lain oleh
karena mereka memang mengasihi diri mereka
sendiri.
Anak-anak yang tidak berhasil mencapai prestasi yang memadai dapat mengalami perkembangan yang merusak.
Burns menekankan adanya tiga
karakterislik umumnya anak-anak yang
berprestasi rendah dibandingkan dengan yang
berprestasi tinggi:
1) Mereka hampir selalu berada dalam perasaan-perasaan yang sedang dikritik, ditolak,
ataupun diasingkan
2) Bertindak defensif melalui tindakan mengalah, menghindari/isolasi atau malah tindakan-tindakan yang negatif
3)
Tidak mampu mengekspressikan diri
yang sesuai, di dalam berbagai tindakan maupun perasaan.
Bagaimana mekanisme perkembangan konsepdiri anak di sekolah, Burns memberikan skema pada figura
5.
Di sini dibayangkan hubungan terus menerus antara konsep diri siswa, tingkah laku mereka, harapan, dan
umpan balik guru dan orang tua dalam bentukspiral (berputar/melingkar dan meningkat). Apabila perkembangan berbentuk spiral tersebut untuk keberhasilan,
tentu saja adalah sesuatu yang
seharusnya. Tetapi bila untuk sebuah kegagalan,
ia akan bermuara pada keadaan yang memprihatinkan.
Orang tua dan terutama guru harus mampu memutuskan spiral ini. Disinilah sesungguhnya profesionalisme guru itu dipertaruhkan. Hal ini akan
menjadi pembahasan khusus pada
bagian-bagian akhir naskah ini.
Figura 5. Perkembangan
konsep diri
2.
Skemata dan Perannya dalam Komunikasi
Menurut
Piaget, skemata merupakan representasi bentuk dari seperangkat persepsi, ide, dan aksi yang diasosiasikan, dan merupakan dasar pembangunan pemikiran.
Skemata selalu berkembang sejalan dengan kapasitas pengalamannya. Dalam perkembangannya schemata sebelumnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari skemata baru.
Pada prinsipnya, setiap saat pikiran kita bekerja terus dan menerima pesan, memaknainya, mempersiapkan pengiriman pesan
balasan, mengkode kemudian mengirimnya.
Artinya, dalam setiap proses komunikasi, pikiran
tersebut bekerja terus: menerima, mengolah, mengirim, menerima lagi, mengolah lagi, mengirim lagi, dst.
Suatu paradigma yang menampung proses komunikasi ini, yang tertua adalah paradigma. S - R (stimulus-response).
Oleh karena paradigma pikiran manusia berkembang terus maka paradigma ini kemudian disempurnakan menjadi S-O-R. Dalam hal ini, O menyatakan suatu proses
mediasi, berupa aktivitas kognitif pada setiap
individu, ataupun aktivitas sosial dalam kelompok atau
organisasi. Aktifitas kognitif tersebut, di antaranya
adalah persepsi, memproses informasi,
menyimpannya, (berlatih) mengulang-ulang, mengeluarkannya (mengingat), dst. Hal ini digambarkan dalam Figura 6 (Salomon,1981).
Figura 6 : Model Komunikasi Menurut Paradigma SOR
|
S
|
O
|
R
|
|
Stimulus, pesan atau seting dengan muatan
tertentu
|
Persepsi, memproses, menyimpan, rehearsal
|
Respon yang bersifat tertutp atau terbuka
|
Paradigma ini, baik untuk keperluan penelitian maupun argumentasi, pada dasarnya memfokuskan pada kesesuaian muatan dari stimulus dengan muatan dari
O, serta muatan O dengan muatan R.
Salomon menegaskan bahwa ada dua asumsi yang mendasari paradigma ini. Pertama, hasil atau R hampir tidak pernah
dianggap mempengaruhi mediatornya. Kedua, paradigma S-O-R memberikan posisi utama pada S,
sementara O hanya dianggap sebagai respon belaka.Dengan demikian, ternyata bahwa model yang dikemukakan di atas (S-O-R), dimana kognisi hanyalah memediasi antara stimuli
dengan respons, secara konseptual
tidak memuaskan, sementara secara
empiris amat terbatas dalam skopnya.
a. Model Skemata
dan Dilemanya
Neisser (1976) mencoba memecahkan dilema yang dikemukakan di atas di dalam konteks persepsi manusia. Ia
mengusulkan suatu teori yang didasarkan
atas premis bahwa skema-antisipasi mental
berperan sebagai medium melalui informasi
yang telah ada (diperoleh), menentukan apa yang akan diambil berikutnya, dan informasi ini sebaliknya mengubah skemata semula.
Suatu skema mental secara lebih spesifik, lebih
kurang adalah seperangkat pengetahuan yang
telah diperoleh sebelumnya plus operasinya yang
memerlukan kecakapan tertentu untuk memrosesnya. Suatu skema adalah laksana gudang simpanan dari suatu kategori pengetahuan,
dan juga laksana satu koleksi prosedur
komputer.Skemata terhubung dengan skemata-skemata lainnya dengan cara yang rumit.
Pada prinsipnya, skemata mental seseorang
beroperasi dalam suatu kapasitas memandu atau
mengantisipasi. Skemata juga mempengaruhi bagaimana informasi itu disampel, distruktur, serta ditafsirkan secara bermakna.Dengan diarahkan oleh skemata, orang
menjadi sensitif terhadap suatu kejadian
tertentu, lain menyampelnya, menstrukturnya dan memberinya
makna di dalam (sesuai) garis antisipasinya.
Andaikata proses persepsi tersebut seluruhnya demikian, yaitu skemata memandu apa saja yang akan
mendapatkan perhatian, menyampelnya
menstrukturnya, lalu memaknainya sesuai arah
antisipasinya, akan dihadapi suatu paradoks yang dinyatakan oleh ungkapan.
"Saya melihat sesuatu jika saya
mempercayainya". Atau seperti yang dikemukakan Neisser yang dikutip langsung oleh Salomon:
Persepsi tidak hanya bekerja membenarkan asumsi sebelumnya, tapi memberi organisme dengan informasi
baru. Meskipun ini benar, juga benar
tanpa adanya struktur sebelumnya, tidak
satu dapat diperoleh. Terdapat
kontradiksi dialektis antara kedua syarat ini: kita tidak akan mempersepsi sesuatu tanpa kita mengantisipasinya, tetapi kita harus tidak hanya melihat apa yang kita antisipasi.
Dengan kata lain hasil dari eksplorasi yang
diarahkan oleh skema, yaitu informasi yang
diperoleh, akan mengubah skema semula. Setelah
perubahan, skema tersebut mengarahkan eksplorasi
selanjutnya, dan menjadi siap untuk lebih banyak informasi. Dengan demikian, persepsi atau komunikasi umumnya seperti yang dikemukakan
Neisser, adalah suatu proses yang bersifat
siklus. Salomon dengan mengadopsinya dari Neisser,
melakukan sedikit modifikasi, menggambarkan
siklus komunikasi sebagai berikut (lihat figura 7)
Adanya dilema seperti dikemukakan sebelumnya, kelihatannya akan lenyap dengan model ini. Disini
orang secara terseleksi memperhatikan
berbagai kejadian, menyimpulkan adanya maksud didalamnya (attribute
intentions), lalu menafsirkan makna di dalamnya
sesuai dengan skemata antisipatorinya. Tetapi skemata ini
juga berakomodasi terhadap kejadian beserta apa-apa
yang dibawa (muatan)nya. Ringkasnya, kedua proses tersebut
terjadi secara siklus.
Figura 7
|
Asimulasi
|
|
Akomodasi
|
|
Mengubah
|
|
Menyampel,
memaknai dan mengatribusi
|
Apapun yang kita
persepsikan, kita pilih
dan dimaknai, dan yang kemudian kita dipengaruhinya, dilakukan oleh ataupun diambil oleh skemata.
Efek dari stimuli
terjadi sesudah (mengikuti) pengaruh skemata. Pengetahuan yang telah ada, kepercayaan-kepercayaan dan harapan-harapan, menentukan apakah kita menginterpretasikan suatu kejadian tersebut adalah sebagai pesan, dan
apakah kita
melihatnya sebagai sesuatu yang jelas, rancu, paradoks, suatu perintah, suatu
ekspresi perasaan, suatu ancaman, ataupun sesuatu yang berbeda dengan semuanya itu. Akomodasi skemata terhadap kejadian-kejadian
tersebut terjadi sesudah
itu.
Pada umumnya orang akan menghindar, mengubah atau
mengabaikan informasi yang sangat berbeda, mendeskreditkan
sumber ataupun membentuk skema tersendiri
(baru) untuk itu. Sejumlah penelitian menemukan, pada saat orang merasa perbedaan antara pesan dengan skemata meningkat,
skemata mengakomodasinya sampai pada
titik tertentu. Apabila perbedaan itu melampaui titik tersebut, akomodasi berhenti, dan terjadilah
penolakan, penghindaran, dan
sebagainya. Dalam situasi ini, asimilasi mengambil alih situasi. Pada prinsipnya, pada saat stimuli terlalu asing (baru sama sekali), rancu,
membingungkan, atau tidak jelas dari
segi skemata seseorang, maka makna diberikan
oleh skemata dengan hanya sedikit pengaruh oleh stimuli; dalam hal ini asimilasi mendominasi situasi. Anderson dkk (dalam Salomon) menyimpulkan dari sejumlah kajian bahwa dari perspektif teori
skema, penentu utama dari pengetahuan
yang dapat diperoleh seseorang, adalah justru pengetahuan yang telah
dimilikinya.
Ada empat faktor yang mempengaruhi keseimbangan antara asimilasi dan
akomodasi, yaitu :
1)
Besarnya ketidaksamaan, ketidakcocokan, atau konflik, seperti yang dipersepsikan seseorang antara skemata, dan
stimuli.
2)
Tingkat penting atau esensinya skemata bersangkutan.
3)
kekuatan relatif dari skema.
4) Melihat adanya indikasi maksud mengkomunikasikan suatu pesan, untuk hiburan, atau untuk menyampaikan informasi yang netral.
Keempat faktor yang dikemukakan di
atas (perbedaan yang dipersepsikan, keesensian
relatif dari skemata, kekuatan skemata, dan terlihatnya
ada maksud), yang mendasarinya adalah prinsip
konsisten-kognitif (dimana ketidakcocokan adalah salah satu daripadanya). Terjadinya akomodasi yang besar dari skemata yang penting, dan
menonjol, dapat
mengganggu/mengacaukan struktur kognitif seseorang. Bagaimanapun, memiliki skemata yang terhubung dengan baik, yang tersusun secara
hierarki, dan konsisten, adalah merupakan struktur kognitif yang penting, dan malah mutlak. Tanpa itu semua, kita akan susah
mengelola urusan kita dengan dunia ini.
Mengacaukan struktur dapat menyebabkan
pusing luar biasa.
Akomodasi skemata terhadap stimuli terjadi ketika
penyesuaian yang diperlukan
dari skemata terhadap stimuli yang sama sekali baru, adalah relatif kecil, bila hal itu
berkenaan dengan skema yang
tidak begitu esensi, jika suatu skema dalam keadaan lemah, dan jika kejadian
dipersepsikan sebagai informasi
yang netral, (bukan untuk melakukan perubahan), maka dalam keadaan demikian,
perubahan lebih besar dari skema akan terjadi.
Kini, dua
batasan perlu diperkenalkan agar seseorang tidak mendapatkan kesan bahwa perubahan skemata
lebih sulit
terjadi daripada biasanya. Pertama, sebagaimana dikemukakan Ros (dalam Salomon), bukti-bukti baru
yang sangat
kuat, dan secara konsisten berlawanan dengan kesan seseorang atau dengan
teori, dapat, dan sering menghasilkan perubahan, walau dalam gerak yang lebih lambat,
dibanding dengan
sebagai akibat dari bukti-bukti yang tidak bias, dan tidak memihak. Dengan
kata lain, skemata yang penting, dan menonjol sekalipun dapat berubah dalam
berhadapan dengan
informasi yang tidak cocok, jika informasi yang tidak cocok ini dipresentasikan
cukup sering dengan cara yang mengizinkan terjadinya asimilasi secara
berangsur-angsur/gradual.
Kedua, dan
yang amat menarik perhatian adalah perubahan yang dramatis, dan hampir menyeluruh
yang terjadi
ketika orang mengalami konversi/perubahan agama atau ideologi. Disini ditekankan Salomon dari pernyataan Ross bahwa, konversi seperti ini bukanlah hasil
dari data baru ataupun serangan terhadap kepercayaan lama, lebih dari itu adalah, serangan terhadap sistem
kepercayaan secara keseluruhan. Ini
adalah perubahan tingkat tinggi, yang
bukan mengenai satu skema ataupun isi beberapa skemata; ini menyinggung seluruh bagian dari sistem kognitif, dengan mana informasi berhadapan. Dalam hal ini serangan ditingkatkan ke level tertinggi dari
hierarki skemata, dan si subjek
diberi jalan/cara untuk meninjau keseluruhan
bagian dari sistem kepercayaannya dalam hubungan dengan pengalamannya ini dari luar, yaitu dari tingkat-meta. Disini informasi berbeda
(tidak cocok) tersebut tidak
diberikan didalam sistem yang sama, yang diistilahkan Watzlawick sebagai percobaan tingkat pertama; tetapi dikemukakan istilah yang seluruhnya berbeda
untuk memahami pengalaman, dan memberikan kesempatan kepada si subjek untuk melangkah keluar
batas-batas yang diset oleh skemata
semula, dan merekonsiliasikan masalah yang
dirasakan, di antara skemata, dan bukti-bukti empirik (hasil pengalaman), yaitu suatu perubahan yang
bersifat tingkat dua (second
order). Ini sangat banyak kesamaannya dengan perbedaan antara usaha untuk mempersuasi orang bahwa mereka itu adalah salah, di satu pihak,
dengan jalan memberikan tekanan yang
makin kuat mengenai bagaimana benarnya
kita, dan di pihak lain, dengan mengkerangkakan kembali ketidak sefahaman di
dalam peristilahan yang baru sama
sekali, yang memperlihatkan bagaimana seluruh pihak menjadi terlindungi (tidak bersinggungan).
b.
Skemata
dan Komunikasi
Semula, model skemata yang
dikemukakan di atas dikembangkan untuk menerangkan proses persepsi, tetapi ternyata dapat
menerangkan perjumpaan manusia dengan berbagai
objek, kejadian, dan perilaku. Persoalannya, apakah ia membawa arti yang spesifik, dan unik untuk
komunikasi?
Di depan telah diterangkan
Salomon, bahwa komunikasi
terjadi ketika kejadian diberi makna simbolik, dan ketika maksud berkomunikasi
dari si sumber,terlihatindikasinya. Ini
berimplikasi bahwa komunikasi tidak akan
terjadi bila skemata seseorang tidak memberikan/membangun kedua atribusi (terlihatnya indikasi) di atas.Kita mungkin bertanya, kenapa orang sangat
terbiasa untuk melihat adanya maksud berkomunikasi, dan adanya makna dalam
pembicaraan lisan, serta tayangan TV, namun tidak demikian
pada bersin, tersedak, dan lainnya.
Dalam batas-batas tertentu, keputusan kita mengenai kapan menyimpulkan adanya maksud-maksud berkomunikasi,
didasarkan pada adanya persamaan atribusi yang melekat dalam skemata kita. Namun, kesamaan konsepsi tidaklah mempreskripsikan semua makna simbolik, dan kesamaan semua makna ini juga tidak mempreskripsikan semua kemungkinan untuk pengatribusian maksud
berkomunikasi.
Setiap berhadapan dengan dunia sekitar, kita akan melibatkan kadar tertentu dari perilaku epistemik,
namun mengumpulkan informasi tidak
haruslah berimplikasi bahwa pilihan-pilihan yang diambil
akan bersifat tidak bias. Akibatnya, pada saat informasi merupakan bagian dari
yang disebut realita sosial, tidak dapat
dielakkan bahwa ia akan bias. Diistilahkan pengetahuan
inferensial, bila ia didasarkan pada seperangkat bukti-bukti yang tidak lengkap, tanpa adanya basis objektif untuk merasakan kebenaran
dari suatu proposisi, demikian Kruglanski &
Jaffe (dalam Salomon). Selanjutnya, pilihan yang dilakukan
adalah berupa suatu preferensi yang
berbasis subjektif. Disini pilihan tertentu akan
dijatuhkan di antara berbagai kesimpulan
alternatif yang ada; dan ini tentu saja terjadi pada saat sejumlah bukti yang ada, cocok dengan berbagai interpretasi,
ataupun adanya konklusi alternatif yang tidak terbatas jumlahnya.
Skemata antisipatori yang sebagian didasarkan atas realita sosial, ia
bersifat bias sejak awal proses epistemik, demikian
juga dalam pilihan-pilihan yang dilakukan. Skemata
bias dalam melakukan pilihan-pilihan terhadap berbagai alternatif. Ide-ide yang tersedia dalam kepala dengan mudah,
dan lebih siap hadirnya dalam fikiran, yang
diperoleh melalui pengalaman, pengajaran ataupun motivasi, sejak dari awalnya
telah bias alternatif-alternatif yang
dipertimbangkan untuk dipilih. Skemata juga bias terhadap bobot, keterpercayaan, dan keterandalan dari informasi yang dikumpulkan (dalam proses
epistemik). Skemata pun membawa,
misalnya, pada kekeliruan dalam melakukan/
proses atribusi yang cukup mendasar sifatnya, yaitu memberikan bobot yang lebih besar pada bukti-bukti yang membantu menerangkan perilaku lebih dari segi
disposisi (karakteristik
kepribadian), daripada dari segi situasi.
Suatu skemata superordinat berperan didalamnya, agar konsistensi-kognitif terpertahankan.
Salomon mengemukakan temuan Snyder mengenai bias
dalam isu komunikasi, bahwa orang cenderung menformulasi berbagai hipotesis mengenai sifat orang-orang lain, dan sesudah itu men-tesnya dengan cara-cara yang
bias. Secara lebih spesifik, orang
cenderung untuk mengumpulkan bukti-bukti yang membenarkan, daripada
mencari bukti-bukti yang menyangkal.
Temuan Snyder yang amat penting dalam hal ini adalah, sementara mencari bukti-bukti yang membenarkan, orang-orang yang sedang menguji hipotesis membentuk perilaku orang lain demikian rupa sehingga respon orang
lain tersebut memperlihatkan perilaku nyata
yang membenarkan hipotesis yang sedang
diuji. Dengan demikian, si penguji hipotesis
tidak hanya lebih suka (cenderung) mendapatkan dari orang-orang yang menjadi sasaran hipotesisnya bukti-bukti yang membenarkan hipotesisnya, juga membentuk
perilaku orang-orang sasaran
tersebut, demikian rupa sehingga si
penilai yang naif-pun akan dapat menghasilkan kesimpulan yang sama.
Seluruh perilaku epistemik kita (yaitu yang dipandu
oleh skemata bersama, baik itu perilaku yang individual
sifatnya maupun kelompok atau
kultural) akan bersifat bias, tetapi bias ini tidak perlu pula mempengaruhi dunia objek; yang pasti bias tersebut mempengaruhi manusia dalam interaksi sosial. Tetapi bias- bias
ini juga membentuk, dan mengubah dunia sekitar kita, bila transaksi melibatkan komunikasi sesama manusia.
Inilah yang ditekankan Snyder, yaitu sesuatu yang merupakan
sifat sosial dari realita sosial. Bias saya
yang dipandu oleh skemata,
dapat membawa saya untuk menginterpretasikan suatu objek sebagai menyenangkan, mengganggu, atau mudah pecah, dst. Tetapi dengan menginterpretasikan demikian, saya tidak harus pula menjadikan objek
tersebut benar-benar mempunyai
sifat demikian. Namun, disisi lain, bila saya menginterpretasikan perilaku seseorang sebagai membawa pesan persahabatan, ini akan mengarahkan
saya untuk berperilaku demikian, dan ini akan memberi peluang untuk membentuk perilaku orang tersebut menjadi
lebih bersahabat terhadap saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar