A. Skemata, dan Media
Pandangan tiga
teori tentang media dan pendidikan, sebagai berikut:
1. Teori
situasional (lingkungan)
Fokus teori ini pada
bagaimana skemata berakomodasi dengan masukan-masukan dari dunia luar
(bagaimana persepsi manusia dipengaruhi oleh media). Contohnya temuan Gross
tentang pertunjukan drama-drama kriminal di TV akan menimbulkan rasa takut, dan
ketidakpercayaan jadi memuncak. Implikasi dari interpretasi satu arah dan
situasional tersebut adalah TV harus mengurangi tayangan kriminalnya.
2. Teori
Kepribadian (trait)
Zilman melihat
bagaimana skemata mengasimilasi stimuli dari TV. Implikasisnya adalah
orang-orang pencemas haruslah menonton film drama kriminal, di mana orang-orang
“baik” menang, sementara orang-orang yang bersifat agresif, haruslah mengurangi
menonton kekerasan dalam TV.
3. Teori
Skema
Teori skemata
mendekati mendekati isu seperti di atas dengan cara berbeda sama sekali.
a. Kecemasan
yang dirasakan manusia berasal dari berbagai sumber, termasuk TV.
b. Efek
dari menonton drama kriminal bergantung pada apa yang diantisipasi orang.
Orang-orang yang tingkat kecemasan tinggi menyukai drama-drama kejahatan di TV
untuk berbagai alasan, sebagian untuk memperkuat, dan menegaskan
pandangan/harapan mereka yang suram.
Pada saat hendak
memahami penggunaan teori skemata terhadap efek dari media, ada dua isu akan
tampil, yaitu:
a. Berkenaan
dengan cara bagaimana skemata tertentu mempengaruhi tentang apa-apa yang
dipercayai dari media.
b. Berkenaan
dengan cara bagaimana media mempengaruhi perkembangan skemata.
Menurut Solomon,
perubahan skemata oleh media terjadi dengan tiga cara, yaitu:
1. Media
dapat mengubah skemata jika skemata tersebut lemah, tidak/belum terintegrasi
dengan baik, terisolasi, tidak menonjol, tidak penting, ataupun belum berada
dalam keadaan siap pakai disebut perubahan naif.
2. Media
dapat mengubah skemata, meskipun skemata itu bersifat esensial, menonjol,
penting, serta terintegrasi dengan baik, apabila skemata itu belum cukup
berkembang untuk menggarap suatu kejadian yang baru sehingga dengan demikian
dilaksanakan yang disebut proses epistemik (proses mencari informasi). Oleh
karena proses epistemik tersebut berorientasi pada tujuan (dilakukan untuk
mendapatkan jawaban, untuk mendapatkan keputusan yang akan menjadi pegangan),
termasuk media, akan berperan membawa pada keberhasilan proses epistemik (perubahan
epistemic).
3. Media
dapat mengubah skemata, tidak peduli apakah skemata tersebut esensi, menonjol,
ataupun telah berkembang, yaitu dengan jalan mengekspos media terhadap
orang-orang secara sistematis, terus
menerus, dan konsisten, sehingga memudahkan mereka mengasimilasi pesan-pesannya
yang dinamakan dengan perubahan sebagai efek berulang.
B. Skemata, dan Proses Pembelajaran
Menurut Salomon,
ada dua isu penting berkenaan dengan skemata dan pembelajaran, yaitu:
1. Perspektif
siswa, kemampuan, serta kecenderungan mereka, akan menentukan bagaimana mereka
memperlakukan informasi yang disampaikan kepada mereka serta bagaimana hal itu
disimpannya.
2. Skemata
siswa sangat rentan terhadap arahan yang dapat menyebabkan suatu skemata
tertentu lebih disukai dari yang lain, lalu dipergunakan/ dipakai terhadap
materi-materi dalam berbagai kejadian.
Satu hal paling
penting untuk memaksimalkan belajar, para pendidik harus membantu siswa
mengaplikasikan skemata-skemata khusus mereka terhadap materi pelajaran yang
akan dipelajari. Ausubel, ditegaskan Salomon, menemukan sesuatu yang
diistilahkan “Advanced Organizer,
(AO)”. AO adalah materi pengenalan yang bersifat pantas, relevan, dan inklusif,
diperkenalkan kepada siswa sebelum proses belajar dilakukan, dan diberikan
dalam tingkat yang lebih tinggi dalam hal keabstrakannya, generalisasinya, dan
keinklusifannya. Fungsinya adalah untuk memberikan sangkutan ide/ fikiran (ideational scaffolding) untuk dapat
terjadinya penyerapanmateri pelajaran/ pengetahuan yang lebih rinci, dan
terdiferensiasi. AO dapat berbentuk judul buku, headline, ataupun, ataupun
abstrak ringkas di bagian awal artikel-artikel jurnal.
Ternyata
berbagai temuanmengenai efektivitas dari AO, ia mengarah pada suatu kenyataan,
yaitu:
1. Tidak efektif. Skemata
yang tinggi tingkatnya dalam hierarki, atau yang lebih dominan, yang dimiliki
siswa justru dapat menghalangi AO dalam menjalankan fungsinya.
2. Efektif. AO dapat
berfungsi sebagai skemata superordinat yang amat berharga, yaitu ia
mengasimilasi informasi baru yang bersifat hipotetik, seolah-olah informasi
tersebut bersifat faktual.
C. Skemata, dan Kontak Interpersonal
Persepsi dan
komunikasi interpersonal sangat kuat dipengaruhi oleh isi dari skemata
antisipatori dari para partisipan. Dapat dikatakan bahwa, tidak pernah ada
kontak interpersonal yang terbebas dari skema antisipatori.
Skema
antisipatori yang mempengaruhi kontak interpersonal dapat berbagai jenis. Satu
skemata yang lebih dominan cenderung mengarahkan kita untuk mengabaikan
faktor-faktor situasional dalam mengatribusi penyebab dari tingkah laku orang
lain (tidak terhadap kita), dan melebihi utama faktor watak yang
digeneralisasikan saat melihat seseorang dalam menjalankan suatu perannya.
Skemata lain yang berperan dalam kontak interpersonal adalah stereotype; jenis
kelamin, prototip watak, label-label konsensual, dan juga skemata yang
berdasarkan pada pengalaman-pengalaman khusus.
Ditegaskan
Solomon, hal yang paling umum ada pada berbagai jenis skemata interpersonal
adalah cara skema-skema itu beroperasi.
1. Skemata
ini menyampel, mengelompok-kelompokkan, atau memberi tanda perilaku orang lain
sesuai dengan kognisi awal.
Sekali perilaku-perilaku tersebut digolong-golongkan atau disampel, perilaku-perilaku tersebut
memasuki proses interpretasi, yang oleh Weick (1979) disebut pemaknaan. Interpretasi-interpretasi demikian
mengindikasikan penyebab-penyebab perilaku, lalu menentukan apa yang dapat kita harapkan pada orang-orang, atas dasar
indikasi-indikasi tersebut. Guru-guru tentu saja mengharapkan anak-anak yang lemah dalam membaca akan dapat menjadi baik
bila kelemahan tersebut diterangkan/ dipersepsi tersebab oleh kurangnya usaha (dari segi teori atribusi,
usaha ini adalah faktor yang bersifat internal,. tidak satabil, dan
dapat dikontrol); dan akan sulit menjadi baik bila kelemahan tersebut dianggap tersebab oleh kemampuan (kemampuan
adalah faktor yang bersifat internal, relatif stabil, dan tidak begitu dapat
dikontrol), dan pengasuhan anak. Selanjutnya, ekspektasi seperti di atas mungkin dapat
digeneralisasikan: anak-anak yang lemah daya baca mereka akan berbeda dalam berbagai hal dibanding dengan anak-anak
yang baik daya baca mereka. Kelemehan daya baca ini, dengan demikian, akan menjadi
tanda kelemahan dalam berbagai kegiatan akademik; dan sekali ia ditafsirkan demikian,
ia akan membenarkan label- label awal, ataupun diagnosis-diagnosis selanjutnya.
Dan sejumlah temuan, Salomon menggeneralisasikan bahwa, harapan-harapan yang ditentukan oleh skemata (yaitu persesi-ipersepsi, harapan-harapan yang bersifat kognitif), akan bertindak dalam bentuk tingkah laku-tingkah laku khusus yang
diarahkan pada orang lain. Misalnya, guru cenderung untuk mengabaikan komentar-komentar dari siswa-siswa yang menurut ekspektasinya adalah berkemampuan rendah, tetapi sangat aktif merespon siswa-siswa
yang menurut ekspektasinya berkemampuan tinggi. Temuan lain misalnya, guru-guru lebih banyak menoleh, tersenyum, berkontak mata, dan menganggukkan kepala pada anak anak yang dianggap pintar, daripada kepada anak-anak yang dianggap bodoh; juga ternyata guru-guru lebih banyak
melayani
siswa-siswa dimana si guru mempunyai harapan yang tinggi pada mereka, juga lebih banyak menyediakan waktu untuk menjawab pertanyaan, dan lebih mendorong,
mereka ke arah jawaban yang benar, dibandingkan dengan yang dilakukan guru terhadap anak-anak dimana si guru mempunyai ekspektasi yang rendah.
Babad (dalam Salomon) menegaskan, perlu dibedakan dua hal, yaitu faktor sugestabilitas (seberapa jauh orang mengizinkan informasi baru yang diperolehnya mempengaruhi skematanya yang telah
ada), dengan faktor komunikabilitas (seberapa jauh orang mengkomunikasikan harapan-harapanya yang telah terbentuk). Dalam hal ini, sugestabilitas adalah
keharusan, namun belum
memadai dimana informasi baru membawa seseorang untuk berperilaku yang akan mempengaruhi orang lain. Sekali diyakini bahwa suatu informasi dapat dipercaya,
orang masih harus berbuat di atas dasarnya atau mengkomunikasikannya. Apabila kedua kondisi,
(sugestabilitas, dan komunikabilitas) tersebut terabaikan, akan bisa menjadi penyebab kenapa efek dari ekspektasi
tidak kelihatan dalam banyak kajian.
2. Aspek
berikutnya yang melengkapi “repleteness”
adalah “Stacking”. Maksud dari “Stacking” adalah di dalam suatu
peristiwa komunikasi, orang dapat memperoses informasi lebih dangkal atau masuk
secara lebih mendalam ke level-level yang dikehendaki.
Repletenss dan stacking adalah
karakteristik potensial dari peristiwa komunikasi. Realisasinya dalam tindak-tindak komunikasi tertentu
tergantung pada seberapa besar usaha mental yang dicurahkan seseorang dalam memproses komunikasi. Bagaimana kedua
aspek ini dikendalikan akan merupakan permasalahan dari pilihan yang dilakukan dan keterampilan yang dimiliki.
Realisasi dari aspek repleteness
menjadi sulit akibat dari setidaknya dua jenis konflik. Pertama, ada kemungkinan konflik antara dua atau lebih
peristiwa, dimana terindikasi adanya makna yang tidak sama. Sebagai contoh, seorang anak mendapat informasi dari
sejawatnya bahwa tugas-tugas individual sekolah kurang pentingnya dibandingkan dengan tugas-tugas kelompok;
sementara anak tersebut menerima pesan yang berlawanan dengan itu dari orang tuanya. Kedua, konflik akan
dialami tatkala repleteness dari informasi memerlukan penggunaan
dua sumber informasi yang berbeda (misalnya menonton TV atau membaca buku).
Disini konflik dialami meskipun nantinya makna yang akan diperoleh tidak hams berbeda sama sekali. Bila hal ini
teijadi, pemecahannya
adalah melakukan tindakan epistemik, suatu
proses yang penuh usaha keras dalam melakukan proses yang lebih dalam. Atau orang dapat (dan sering) menghindari konflik sejak awal, dengan cara
menjatuhkan bobot berbeda terhadap
pesan atau sumber, atau dengan jalan menegakkan betul garis pembeda di antara
mereka (keduanya kalau hanya dua
unsur yang berkonflik).
Meletakkan bobot berbeda terhadap pesan atau sumbernya, akan bersifat bias. Sumber-sumber yang pesan-pasannya dirasa lebih sesuai dengan
perbendaharan teori atau kepercayaan
seseorang, atau yang lebih sedikit menuntut
usaha mental, atau yang memberikan informasi yang lebih bermanfaat, atau yang secara social dipersepsikan lebih bersifat riil, atau yang dirasa lebih
bisa ditangani dibandingkan dengan sumber lain, semuanya itu akan diberi
bobot lebih besar. Selanjutnya, sumber maupun pesan
tidak hanya diberi bobot terlebih dulu; sumber dan pesan-pesan tersebut dapat pula digunakan untuk melayani fungsi berbeda, sehingga pembagian yang
tegas di antaranya perlu ditegakkan.
Misalnya, anak-anak belajar dari
hubungan mereka dengan orang dewasa mengenai makna dari dominasi, sokongan, atau bimbingan; sebaliknya mereka belajar dari sejawat mengenai makna dari
agresi, kompetisi,dst. Dengan jalan
berhubungan sekaligus dengan sumber
berbeda, mereka mendapatkan berbagai jenis informasi, nasehat-nasehat, ataupun dukungan-dukungan, sehingga dengan jalan demikian mereka meminimalkan
konflik.
Keputusan mengenai
seberapa besar bobot akan dijatuhkan pada jenis pesan tertentu atau jenis sumber tertentu, semuanya
itu akan dipandu oleh skemata. Sumber yang sama (oleh orang
berbeda) dapat dianggap lebih atau kurang valid, lebih atau kurang menuntut usaha, ataupun lebih atau kurang
bersifat informatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar