Minggu, 24 Januari 2016

Skema & Pendidikan




A.  Skemata, dan Media
Pandangan tiga teori tentang media dan pendidikan, sebagai berikut:
1.    Teori situasional (lingkungan)
Fokus teori ini pada bagaimana skemata berakomodasi dengan masukan-masukan dari dunia luar (bagaimana persepsi manusia dipengaruhi oleh media). Contohnya temuan Gross tentang pertunjukan drama-drama kriminal di TV akan menimbulkan rasa takut, dan ketidakpercayaan jadi memuncak. Implikasi dari interpretasi satu arah dan situasional tersebut adalah TV harus mengurangi tayangan kriminalnya.

2.    Teori Kepribadian (trait)
Zilman melihat bagaimana skemata mengasimilasi stimuli dari TV. Implikasisnya adalah orang-orang pencemas haruslah menonton film drama kriminal, di mana orang-orang “baik” menang, sementara orang-orang yang bersifat agresif, haruslah mengurangi menonton kekerasan dalam TV.
3.    Teori Skema
Teori skemata mendekati mendekati isu seperti di atas dengan cara berbeda sama sekali.
a.    Kecemasan yang dirasakan manusia berasal dari berbagai sumber, termasuk TV.
b.    Efek dari menonton drama kriminal bergantung pada apa yang diantisipasi orang. Orang-orang yang tingkat kecemasan tinggi menyukai drama-drama kejahatan di TV untuk berbagai alasan, sebagian untuk memperkuat, dan menegaskan pandangan/harapan mereka yang suram.
Pada saat hendak memahami penggunaan teori skemata terhadap efek dari media, ada dua isu akan tampil, yaitu:
a.    Berkenaan dengan cara bagaimana skemata tertentu mempengaruhi tentang apa-apa yang dipercayai dari media.
b.    Berkenaan dengan cara bagaimana media mempengaruhi perkembangan skemata.
Menurut Solomon, perubahan skemata oleh media terjadi dengan tiga cara, yaitu:
1.    Media dapat mengubah skemata jika skemata tersebut lemah, tidak/belum terintegrasi dengan baik, terisolasi, tidak menonjol, tidak penting, ataupun belum berada dalam keadaan siap pakai disebut perubahan naif.
2.    Media dapat mengubah skemata, meskipun skemata itu bersifat esensial, menonjol, penting, serta terintegrasi dengan baik, apabila skemata itu belum cukup berkembang untuk menggarap suatu kejadian yang baru sehingga dengan demikian dilaksanakan yang disebut proses epistemik (proses mencari informasi). Oleh karena proses epistemik tersebut berorientasi pada tujuan (dilakukan untuk mendapatkan jawaban, untuk mendapatkan keputusan yang akan menjadi pegangan), termasuk media, akan berperan membawa pada keberhasilan proses epistemik (perubahan epistemic).
3.    Media dapat mengubah skemata, tidak peduli apakah skemata tersebut esensi, menonjol, ataupun telah berkembang, yaitu dengan jalan mengekspos media terhadap orang-orang  secara sistematis, terus menerus, dan konsisten, sehingga memudahkan mereka mengasimilasi pesan-pesannya yang dinamakan dengan perubahan sebagai efek berulang. 

B.  Skemata, dan Proses Pembelajaran
Menurut Salomon, ada dua isu penting berkenaan dengan skemata dan pembelajaran, yaitu:
1.    Perspektif siswa, kemampuan, serta kecenderungan mereka, akan menentukan bagaimana mereka memperlakukan informasi yang disampaikan kepada mereka serta bagaimana hal itu disimpannya.
2.    Skemata siswa sangat rentan terhadap arahan yang dapat menyebabkan suatu skemata tertentu lebih disukai dari yang lain, lalu dipergunakan/ dipakai terhadap materi-materi dalam berbagai kejadian.
Satu hal paling penting untuk memaksimalkan belajar, para pendidik harus membantu siswa mengaplikasikan skemata-skemata khusus mereka terhadap materi pelajaran yang akan dipelajari. Ausubel, ditegaskan Salomon, menemukan sesuatu yang diistilahkan “Advanced Organizer, (AO)”. AO adalah materi pengenalan yang bersifat pantas, relevan, dan inklusif, diperkenalkan kepada siswa sebelum proses belajar dilakukan, dan diberikan dalam tingkat yang lebih tinggi dalam hal keabstrakannya, generalisasinya, dan keinklusifannya. Fungsinya adalah untuk memberikan sangkutan ide/ fikiran (ideational scaffolding) untuk dapat terjadinya penyerapanmateri pelajaran/ pengetahuan yang lebih rinci, dan terdiferensiasi. AO dapat berbentuk judul buku, headline, ataupun, ataupun abstrak ringkas di bagian awal artikel-artikel jurnal.
Ternyata berbagai temuanmengenai efektivitas dari AO, ia mengarah pada suatu kenyataan, yaitu:
1.    Tidak efektif. Skemata yang tinggi tingkatnya dalam hierarki, atau yang lebih dominan, yang dimiliki siswa justru dapat menghalangi AO dalam menjalankan fungsinya.
2.    Efektif. AO dapat berfungsi sebagai skemata superordinat yang amat berharga, yaitu ia mengasimilasi informasi baru yang bersifat hipotetik, seolah-olah informasi tersebut bersifat faktual.

C.  Skemata, dan Kontak Interpersonal
Persepsi dan komunikasi interpersonal sangat kuat dipengaruhi oleh isi dari skemata antisipatori dari para partisipan. Dapat dikatakan bahwa, tidak pernah ada kontak interpersonal yang terbebas dari skema antisipatori.
Skema antisipatori yang mempengaruhi kontak interpersonal dapat berbagai jenis. Satu skemata yang lebih dominan cenderung mengarahkan kita untuk mengabaikan faktor-faktor situasional dalam mengatribusi penyebab dari tingkah laku orang lain (tidak terhadap kita), dan melebihi utama faktor watak yang digeneralisasikan saat melihat seseorang dalam menjalankan suatu perannya. Skemata lain yang berperan dalam kontak interpersonal adalah stereotype; jenis kelamin, prototip watak, label-label konsensual, dan juga skemata yang berdasarkan pada pengalaman-pengalaman khusus.
Ditegaskan Solomon, hal yang paling umum ada pada berbagai jenis skemata interpersonal adalah cara skema-skema itu beroperasi.
1.    Skemata ini menyampel, mengelompok-kelompokkan, atau memberi tanda perilaku orang lain sesuai dengan kognisi awal.
Sekali perilaku­-perilaku tersebut digolong-golongkan atau disampel, perilaku-perilaku tersebut memasuki proses interpretasi, yang oleh Weick (1979) disebut pemaknaan. Interpretasi-­interpretasi demikian mengindikasikan penyebab-penyebab perilaku, lalu menentukan apa yang dapat kita harapkan pada orang-orang, atas dasar indikasi-indikasi tersebut. Guru­-guru tentu saja mengharapkan anak-anak yang lemah dalam membaca akan dapat menjadi baik bila kelemahan tersebut diterangkan/ dipersepsi tersebab oleh kurangnya usaha (dari segi teori atribusi, usaha ini adalah faktor yang bersifat internal,. tidak satabil, dan dapat dikontrol); dan akan sulit menjadi baik bila kelemahan tersebut dianggap tersebab oleh kemampuan (kemampuan adalah faktor yang bersifat internal, relatif stabil, dan tidak begitu dapat dikontrol), dan pengasuhan anak. Selanjutnya, ekspektasi seperti di atas mungkin dapat digeneralisasikan: anak-anak yang lemah daya baca mereka akan berbeda dalam berbagai hal dibanding dengan anak-anak yang baik daya baca mereka. Kelemehan daya baca ini, dengan demikian, akan menjadi tanda kelemahan dalam berbagai kegiatan akademik; dan sekali ia ditafsirkan demikian, ia akan membenarkan label- label awal, ataupun diagnosis-diagnosis selanjutnya.
Dan sejumlah temuan, Salomon menggeneralisasikan bahwa, harapan-harapan yang ditentukan oleh skemata (yaitu persesi-ipersepsi, harapan-harapan yang bersifat kognitif), akan bertindak dalam bentuk tingkah laku-tingkah ­laku khusus yang diarahkan pada orang lain. Misalnya, guru cenderung untuk mengabaikan komentar-komentar dari siswa-siswa yang menurut ekspektasinya adalah berkemam­puan rendah, tetapi sangat aktif merespon siswa-siswa yang menurut ekspektasinya berkemampuan tinggi. Temuan lain misalnya, guru-guru lebih banyak menoleh, tersenyum, berkontak mata, dan menganggukkan kepala pada anak ­anak yang dianggap pintar, daripada kepada anak-anak yang dianggap bodoh; juga ternyata guru-guru lebih banyak melayani siswa-siswa dimana si guru mempunyai harapan yang tinggi pada mereka, juga lebih banyak menyediakan waktu untuk menjawab pertanyaan, dan lebih mendorong, mereka ke arah jawaban yang benar, dibandingkan dengan yang dilakukan guru terhadap anak-anak dimana si guru mempunyai ekspektasi yang rendah.
Babad (dalam Salomon) menegaskan, perlu dibedakan dua hal, yaitu faktor sug­estabilitas (seberapa jauh orang mengizinkan informasi baru yang diperolehnya mempengaruhi skematanya yang telah ada), dengan faktor komunikabilitas (seberapa jauh orang mengkomunikasikan harapan-harapanya yang telah terbentuk). Dalam hal ini, sugestabilitas adalah keharusan, namun belum memadai dimana informasi baru membawa seseorang untuk berperilaku yang akan mempengaruhi orang lain. Sekali diyakini bahwa suatu informasi dapat dipercaya, orang masih harus berbuat di atas dasarnya atau mengkomunikasikannya. Apabila kedua kondisi, (sug­estabilitas, dan komunikabilitas) tersebut terabaikan, akan bisa menjadi penyebab kenapa efek dari ekspektasi tidak kelihatan dalam banyak kajian.
2.    Aspek berikutnya yang melengkapi “repleteness” adalah “Stacking”. Maksud dari “Stacking” adalah di dalam suatu peristiwa komunikasi, orang dapat memperoses informasi lebih dangkal atau masuk secara lebih mendalam ke level-level yang dikehendaki.
Repletenss dan stacking adalah karakteristik potensial dari peristiwa komunikasi. Realisasinya dalam tindak-­tindak komunikasi tertentu tergantung pada seberapa besar usaha mental yang dicurahkan seseorang dalam memproses komunikasi. Bagaimana kedua aspek ini dikendalikan akan merupakan permasalahan dari pilihan yang dilakukan dan keterampilan yang dimiliki.
Realisasi dari aspek repleteness menjadi sulit akibat dari setidaknya dua jenis konflik. Pertama, ada kemungkinan konflik antara dua atau lebih peristiwa, dimana terindikasi adanya makna yang tidak sama. Sebagai contoh, seorang anak mendapat informasi dari sejawatnya bahwa tugas-­tugas individual sekolah kurang pentingnya dibandingkan dengan tugas-tugas kelompok; sementara anak tersebut menerima pesan yang berlawanan dengan itu dari orang tuanya. Kedua, konflik akan dialami tatkala repleteness dari informasi memerlukan penggunaan dua sumber informasi yang berbeda (misalnya menonton TV atau membaca buku).
Disini konflik dialami meskipun nantinya makna yang akan diperoleh tidak hams berbeda sama sekali. Bila hal ini teijadi, pemecahannya adalah melakukan tindakan epistemik, suatu proses yang penuh usaha keras dalam melakukan proses yang lebih dalam. Atau orang dapat (dan sering) menghindari konflik sejak awal, dengan cara menjatuhkan bobot berbeda terhadap pesan atau sumber, atau dengan jalan menegakkan betul garis pembeda di antara mereka (keduanya kalau hanya dua unsur yang berkonflik).
Meletakkan bobot berbeda terhadap pesan atau sumbernya, akan bersifat bias. Sumber-sumber yang pesan-pasannya dirasa lebih sesuai dengan perbendaharan teori atau kepercayaan seseorang, atau yang lebih sedikit menuntut usaha mental, atau yang memberikan informasi yang lebih bermanfaat, atau yang secara social dipersepsi­kan lebih bersifat riil, atau yang dirasa lebih bisa ditangani dibandingkan dengan sumber lain, semuanya itu akan diberi bobot lebih besar. Selanjutnya, sumber maupun pesan tidak hanya diberi bobot terlebih dulu; sumber dan pesan-pesan tersebut dapat pula digunakan untuk melayani fungsi berbeda, sehingga pembagian yang tegas di antaranya perlu ditegakkan. Misalnya, anak-anak belajar dari hubungan mereka dengan orang dewasa mengenai makna dari dominasi, sokongan, atau bimbingan; sebaliknya mereka belajar dari sejawat mengenai makna dari agresi, kompetisi,dst. Dengan jalan berhubungan sekaligus dengan sumber berbeda, mereka mendapatkan berbagai jenis informasi, nasehat-nasehat, ataupun dukungan-dukungan, sehingga dengan jalan demikian mereka meminimalkan konflik. 
Keputusan mengenai seberapa besar bobot akan dijatuhkan pada jenis pesan tertentu atau jenis sumber tertentu, semuanya itu akan dipandu oleh skemata. Sumber yang sama (oleh orang berbeda) dapat dianggap lebih atau kurang valid, lebih atau kurang menuntut usaha, ataupun lebih atau kurang bersifat informatif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar