Minggu, 24 Januari 2016

PESAN DAN KONTEKS



Istilah konteks dalam kajian ini dikemukakan dalam rangka membicarakan klasifikasi komunikasi. Adapun klasifikasi komunikasi berdasarkan konteks adalah sebagai berikut:

Klasifikasi Berdasarkan:
Jenis Komunikasi
Pendekatan situasional

a.     Interpersonal
b.     Kelompok
c.     Organisasi
d.    Publik dan massa
Pendekatan fungsional
a.    Pengembangan dan pemeliharaan hubungan
b.   Pertukaraninformasi
c.    Persuasi
d.   Terapi
e.    Pembangunansolidaritassosialdanestetika
Pendekatan kognitif
a.     Komunikasi interpersonal
b.     Komunikasi interpersonal
c.     Komunikasi orang ke orang
Pendekatan gaya
Pendekatan inimenekankan adanya komunikasi retorika, dan atas dasar itu ditemuilah konsep-konsep keterbukaan, keterpercay­aan, pembukaan diri dan seterusnya (Trenholin, 1986).


Dalam kerangka ini, Salomon mendefinisikan konteks sebagai sesuatu yang memberikan makna terhadap sesuatu lainnya dan dipersepsikan berada dalam level generalitas yang lebih tinggi daripada sesuatu yang lain tadi. Hal-hal yang dapat berperan sebagai konteks antara lain: tingkah laku, tempat, waktu, lambang, organisasi, peran, pengaturan ruang, ekspresi mengenai hubungan dll.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat diketahui bahwa konteks tersusun secara hirarkis, dimana konteks super ordinat akan meliputi beberapa konteks di bawahnya dan begitu seterusnya. Sebagai ilustrasi, jam istirahat di antara dua sesi perkuliahan misalnya, memberi kesempatan kepada mahasiswa, dan pengajar untuk bertingkah laku (misalnya bersorak), hal yang tidak diizinkan selama sesi perkuliahan, dan ini memberi makna khusus. Apabila kebetulan terjadi sorakan demikian pada jam kuliah, maka akan bermakna lain.
Sebagai ciri umum dari segala sesuatu yang berfungsi sebagai konteks, adalah bahwa, ia tidak berada di luar dari yang diberinya konteks. Jadi mungkin hadir sebagai tempat (misalnya lapangan volley), sebagai waktu (misalnya pagi), sebagai sistem lambang (misalnya alfabet), sebagai peran (misalnya siswa) dan lainnya. Namunhal tersebuttidak akan menjadi konteks sampai harapan-harapan, pemberian makna, norma-norma konsensus dan rencana kegiatan diasosiasikan dengannya. Sebagai contoh, konteks suatu buku teks (berbeda dengan konteks buku ajar), sifatnya memberi semacam petunjuk untuk memperlakukan buku teks berbeda dengan buku ajar; dan ini tentu saja hanya bagi orang-orang yang tahu akan adanya perbedaan mendasar asumsi dari kedua jenis buku pelajaran tersebut.
Konteks digunakan secara mental sebagai skemata antisipatori untuk mengasimilasikan kejadian-kejadian khusus, sehingga memberikan makna terhadap kejadian-kejadian tersebut. Jadi, konteks berperan sebagai peralatan prediksi (artinya suatu konteks membantu meramalkan perilaku seseorang).
Dalam memahami komunikasi, ada tiga kesamaan utama antara konteks dan skemata. Kesamaan tersebut yaitu:
1.    Setiappesandipersepsi di dalam suatu konteks (persis seperti pesan-­pesan dipersepsi dari segiskemata).
2.    Konteks seperti halnya skemata, tersusun secara hierarkis dan jarak kognitif antara konteks dengan kejadian, menentukan peran dari konteks.
3.    Dalam kondisi tertentu, konteks dan pesan dapat bertukar peran, yaitu konteks menjadi pesan dan pesan menjadi konteks

Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa banyak peran yang dilakukan oleh konteks, namun kalau dikategorikan, didapati dua jenis peran.Pertama, konteks memberikan fungsi normatif dengan jalan melegitimasikan pesan-pesan tertentu serta menghalangi yang lainnya. Kedua, konteks memberikan fungsi pemaknaan dengan jalan mengindikasi­kan (mensugestikan) makna denotatif dan konotatif khusus apa yang harus diberikan terhadap kejadian-kejadian.

A.  Konteks dan Belajar: Peran-peran yang dapat Saling dipertukarkan
Sebagaimana telah kita bahas sebelumnya bahwa konteks memiliki hirarki tertentu dan bersifat mempengaruhi. Konteks yang lebih besar cenderung mempengaruhi konteks-konteks yang ada di bawahnya. Namun pada saat tertentu, bisa terjadi sebaliknya. Hal ini tergantung pada fokus pengamat.
Belajar adalah suatu proses kognitif untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan.Pada satu sisi, belajar dapat dipandang sebagai konteks yang lebih umum, namun jika persepsinya diganti akan terjadi sebaliknya. Misalnya jika fokus kita adalah pada iklim kelas, maka belajar menjadi belajar menjadi konteks khusus yang dipengaruhi. Di samping itu, ada satu konteks umum untuk belajar adalah sekolah, yaitu keseluruhan kebudayaan yang melingkupi institusionalisasi pendidikan, pembagian pekerjaan di dalamnya, aturan-aturan yang ditegakkan, kehadiran yang diwajibkan dan lainnya. Ada beberapa konteks yang mempengaruhi belajar, antara lain:
1.    Konteks kontrol yang dalam dunia pendidikan/belajar diidentikkan dengan kontrol pemimpin/kepala sekolah yangmempengaruhi konteks di bawahnya seperti pengelolaan, dan iklim kelas. Sehubungan dengan ini, Salomon menge­mukakan bahwa, dampak dari sikap pimpinan sekolah terhadap perilaku guru ternyata lebih kecil bila yang diajar adalah siswa-siswa yang bermotivasi tinggi. Ini memberikan indikasi bahwa guru yang mengajar di bawah tekanan (kepala sekolah) agar lebih mengontrol siswa, dapat berakibat rendahnya nilai (hasil belajar) siswa.
2.    Konteks sosial kelas.Sejumlah kajian yang disimpulkan oleh Salomon mengungkapkan bahwa strategi pengelolaan kelas dari guru, dan iklim kelas memiliki keterkaitan yang cukup eart dan saling mempengaruhi satu sama lain. Saling ketergantungan demikian juga terlihat antara konteks sosial kelas dangan hasil belajar siswa. Dalam hal ini, ternyata kelas dengan pola persaha­batan yang bersifat suportif, memperkuat belajar, sementara kelas dengan hubungan yang bersifat tekanan-­tekanan menghalangi belajar.
3.    Konteks ketaatan atau ketidaktaatan guru terhadap aturandalam pengajaran, perspektif dan tujuan-tujuan yang bersifat a priori dan lainnya.

Satu hal penting lainnya yang menurut Salomon perlu diperhatikanadalah hubungan antara konteks dan belajar. Dipercaya bahwa konteks dan belajar berpengaruh timbal balik, khususnya untuk kasus yang mempunyai hubungan yang cukup dekat. Misalnya, konteks kelas riil, pesan instruksional, dan hasil belajar cukup dekat satu sama lain, sehingga memungkinkan punya pengaruh timbal balik.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa, konteks pembelajaran yang memberikan beban memproses informasi lebih besar pada siswa, mem-berkan manfaat lebih besar pada siswa-siswa yang berkemampuan lebih tinggi; sementara sebaliknya, konteks instruksional yang lebih bersifat didaktis, tertu-tup dan yang memberikan pengarahan-pengarahan yang eksplisit, menguntung-kan siswa-siswa yang berkemampuan lebih rendah. Tapi, jikaada sejumlah siswa memperlihatkan prestasi rendah dalam suatu konteks, pengajaran diarah-kan lebih banyak terhadap mereka.Perlu ditegaskan bahwa proses timbal balik demikian hanya dapat terjadi di bawah satu kondisi, yaitu jika hasil belajar siswa dipandang lebih responsif terhadap konteks.




B.  Konteks dalam Komunikasi Interpersonal
Pada umumnya orang berusaha untuk menyesuaikan tingkah laku mereka terhadap tuntutan dari konteks agar mereka tidak dipersepsikan orang sebagai pembuat bencana, menyimpang, gila, jelek, ataupun bodoh. Di samping itu, seseorang juga memberikan makna atas perilaku orang lain berdasarkan konteks. Misalnya, orang memberikan makna berbeda terhadap kegagalan di sekolah.Ada yang memandang dari konteks rendahnya kemampuan, kurang-nya usaha, atau nasib jelek.
Seadangkan komunkasi interpersonal merupakan interaksi tatap muka antara dua orang atau lebih, dimana pengirim dapat menyampaikan pesan secara langsung dan penerima juga dapat secara langsung memberikan respon. Pada umumnya konteks interpersonal mempengaruhi jenis pertukaran pesan yang terjadi, dan begitu pula sebaliknya.Namun terkadang kita mengabaikan konteks dan melihat segala sesuatu sebagai ujud dari watak negatif seseorang.
Jadi, komunikasi interpersonal melibatkan 4 elemen dasar yaitu: pribadi yang melakukan komunikasi, pesan atau materi yang disampaikan, media dan tujuan penyampaian pesan. Oleh karena itu, ada banyak konteks yang berpengaruh dalam komunikasi interpersonal. Baik konteks situasional, konteks bawaan ataupun konteks kepribadian. Selain konteks, komunikasi interpersonal juga dipengaruhi oleh persepsi interpersonal, konsep diri, atraksi interpersonal, dan hubungan interpersonal. Perhatian terhadap masing-masing faktor ini akan berpengaruh terhadap keberhasilan komunikasi, namun jika terjadi kesalahan dalam membri makna terhadap pesan akan menimbulkan kegagalan komunikasi.

C.  Konteks dalam Komunikasi Bermedia.
Konteks waktu dan tempat kejadian akan mempengaruhi cara media mempengaruhi suatu komunikasi, bahkan media itu sendiri juga berperan sebagai konteks. Perbedaan esensi dalam suatu media tidak terjadi karena isi ataupun modus penggunaannya, melaikan karena sistem lambang yang digunakannya. Modus presentasi yang berbeda ini berperan sebagai konteks pemaknaan dalam dua cara: (1) lambang yang berbeda diproses oleh keterampilan mental yang berbeda, (2) isi yang sama jika dipresentasikan dengan lambang yang berbeda akan menghasilkan informasi yang berbeda. Namun, konteks yang menentukan cara kita menggarap sistem lambang dalam media lebih kuat dipengaruhi oleh skemata-mental dari pada oleh sistem lambang dalam media tersebut.
Dalam komunikasi, sistem lambang berperan sebagai konteks melalui dua cara:
1.    Orang merecode pesan ke dalam modus representasi internal, sementara banyaknya langkah-langkah recoding menentukan "kemudahan" dari pesan serta kerealisannya. Sistem lambang internal ini adalah konteks yang memerankan fungsi pemaknaan.
2.    Sistem lambang merupakan standar yang akan digunakan terhadap pesan. Bila standar tersebut berupa standar piktoral, karakteristik tertentu dari pesan menjadi relevan, dan menunjukkan ada serta pentingnya karakteristik lain. Standar demikian adalah konteks yang memerankan fungsi normatif. Ini karena ia memberi petunjuk karakteristik pesan yang relevan serta terindikasi.

Jadi ada fungsi pemaknaan dan ada fungsi normatif.Semua ini berimplikasi pada dua hal. Pertama, bila sifat hakiki dari presentasi media sangat bergantung pada bagaimana modus presentasinya dikontekstualisasikan oleh si penerima, maka jenis konteks mental yang di gunakan pada presentasi media haruslah menjadi kepedulian dari si pendidik. TV biasanya didekati sebagai media yang "mudah" oleh sistem lambang yang bersifat piktoral. Tambahan lagi, ia membangun ekspektasi bahwa untuk memahami isi TV tidak diperlukan AIME yang besar. Untuk mengubah persepsi/ekspektasi anak-anak tentang media (khusus TV) harus dicoba mengajar anak-anak meng­kontekstualisasikan TV dengan cara berbeda. Anak-anak diajar bahwa sifat depiksi dari media tidak harus bersifat realistis. Artinya, diusahakan tidak menghubungkan standar piktoral dengan asumsi mengenai realisme.
Kedua, beralasan untuk diduga bahwa perjumpaan sebelumnya dengan presentasi media memberi imej tertentu pada anak, dan juga kebenarannya. Anak-anak yang belajar dari tontonan TV secara berlebihan, akan berpikir sesuai sistem lambang TV. Artinya, setelah menginternalisasikan sistem lambang (dalam hal ini TV), kelak ini akan digunakan sebagai konteks terhadap kejadian-kejadian yang baru (berikutnya). 
Anak-anak perlu diajar secara seimbang. Orang/anak-anak harus mampu berpikir mengenai hubungan-­hubungan matematika dari segi vektor spatial, proposisi, dan merumuskan secara saling dipertukarkan. Anak-anak juga harus mampu berpikir mengenai orang lain dari segi kata-katanya, dari imejnya, suaranya, dan lainnya (ingat bahwa kita cenderung berpikir mengenai orang lain dari segi imej, sementara mengenai diri dari segi proposisi). Tujuan mengajar anak-anak mengkontekstualisasikan kejadian-­kejadian baru dalam sistem lambang berbeda, tidaklah berarti memperkuat satu modus kognitif dengan mengor­bankan modus lainnya; tujuannya adalah untuk membantu anak-anak menggunakan sistem-sistem lambang secara saling dipertukarkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar