Istilah konteks dalam kajian ini dikemukakan
dalam rangka membicarakan klasifikasi komunikasi. Adapun klasifikasi komunikasi
berdasarkan konteks adalah sebagai berikut:
|
Klasifikasi Berdasarkan:
|
Jenis Komunikasi
|
|
Pendekatan situasional
|
a.
Interpersonal
b.
Kelompok
c.
Organisasi
d.
Publik
dan massa
|
|
Pendekatan
fungsional
|
a.
Pengembangan dan pemeliharaan hubungan
b.
Pertukaraninformasi
c.
Persuasi
d.
Terapi
e.
Pembangunansolidaritassosialdanestetika
|
|
Pendekatan
kognitif
|
a.
Komunikasi interpersonal
b.
Komunikasi interpersonal
c.
Komunikasi orang ke orang
|
|
Pendekatan gaya
|
Pendekatan inimenekankan adanya komunikasi retorika, dan
atas dasar itu ditemuilah konsep-konsep keterbukaan, keterpercayaan, pembukaan diri dan seterusnya
(Trenholin, 1986).
|
Dalam kerangka ini, Salomon mendefinisikan
konteks sebagai sesuatu yang
memberikan makna terhadap sesuatu lainnya dan dipersepsikan berada dalam level
generalitas yang
lebih tinggi daripada sesuatu yang lain tadi. Hal-hal yang dapat berperan sebagai konteks antara lain: tingkah laku, tempat, waktu, lambang, organisasi, peran, pengaturan ruang, ekspresi mengenai hubungan dll.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat
diketahui bahwa konteks tersusun secara hirarkis, dimana konteks super ordinat
akan meliputi beberapa konteks di bawahnya dan begitu seterusnya. Sebagai ilustrasi,
jam istirahat di antara dua sesi perkuliahan misalnya, memberi kesempatan
kepada mahasiswa, dan pengajar untuk bertingkah laku (misalnya bersorak), hal
yang tidak diizinkan selama sesi perkuliahan, dan ini memberi makna khusus.
Apabila kebetulan terjadi sorakan demikian pada jam kuliah, maka akan bermakna
lain.
Sebagai ciri umum dari segala sesuatu yang
berfungsi sebagai konteks, adalah bahwa, ia tidak berada di luar dari yang diberinya konteks. Jadi mungkin hadir
sebagai tempat (misalnya lapangan volley), sebagai waktu (misalnya pagi),
sebagai sistem lambang (misalnya alfabet), sebagai peran (misalnya siswa) dan
lainnya. Namunhal tersebuttidak akan menjadi konteks sampai harapan-harapan, pemberian makna,
norma-norma konsensus dan rencana kegiatan diasosiasikan dengannya. Sebagai
contoh, konteks suatu buku teks (berbeda dengan konteks buku ajar), sifatnya
memberi semacam petunjuk untuk memperlakukan buku teks berbeda dengan buku
ajar; dan ini tentu saja hanya bagi orang-orang yang tahu akan adanya perbedaan
mendasar asumsi dari kedua jenis buku pelajaran tersebut.
Konteks digunakan secara mental sebagai
skemata antisipatori untuk mengasimilasikan kejadian-kejadian khusus, sehingga
memberikan makna terhadap kejadian-kejadian tersebut. Jadi, konteks berperan
sebagai peralatan prediksi (artinya suatu konteks membantu meramalkan perilaku
seseorang).
Dalam memahami komunikasi, ada tiga kesamaan
utama antara konteks dan skemata. Kesamaan tersebut yaitu:
1. Setiappesandipersepsi di dalam suatu konteks
(persis seperti pesan-pesan dipersepsi dari segiskemata).
2. Konteks seperti halnya skemata, tersusun
secara hierarkis dan jarak kognitif antara konteks dengan kejadian, menentukan
peran dari konteks.
3. Dalam kondisi tertentu, konteks dan pesan
dapat bertukar peran, yaitu konteks menjadi pesan dan pesan menjadi konteks
Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui
bahwa banyak peran yang dilakukan oleh konteks, namun kalau dikategorikan, didapati
dua jenis peran.Pertama, konteks memberikan fungsi normatif dengan jalan
melegitimasikan pesan-pesan tertentu serta menghalangi yang lainnya. Kedua,
konteks memberikan fungsi pemaknaan dengan jalan mengindikasikan (mensugestikan) makna denotatif dan konotatif khusus
apa yang harus
diberikan terhadap kejadian-kejadian.
A. Konteks dan Belajar: Peran-peran yang dapat Saling dipertukarkan
Sebagaimana telah kita bahas
sebelumnya bahwa konteks memiliki hirarki tertentu dan bersifat mempengaruhi.
Konteks yang lebih besar cenderung mempengaruhi konteks-konteks yang ada di
bawahnya. Namun pada saat tertentu, bisa terjadi sebaliknya. Hal ini tergantung
pada fokus pengamat.
Belajar adalah suatu proses kognitif untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan.Pada satu sisi, belajar
dapat dipandang sebagai konteks yang lebih umum, namun jika persepsinya diganti
akan terjadi sebaliknya. Misalnya jika fokus kita adalah pada iklim kelas, maka
belajar menjadi belajar menjadi konteks khusus yang dipengaruhi. Di samping
itu, ada satu konteks umum untuk belajar adalah sekolah, yaitu keseluruhan kebudayaan yang melingkupi
institusionalisasi pendidikan, pembagian pekerjaan di dalamnya, aturan-aturan
yang ditegakkan, kehadiran yang diwajibkan dan lainnya. Ada beberapa konteks
yang mempengaruhi belajar, antara lain:
1. Konteks kontrol yang dalam dunia pendidikan/belajar
diidentikkan dengan kontrol pemimpin/kepala sekolah yangmempengaruhi konteks di bawahnya seperti pengelolaan, dan iklim kelas.
Sehubungan dengan ini, Salomon mengemukakan bahwa, dampak dari sikap pimpinan
sekolah terhadap perilaku guru ternyata lebih kecil bila yang diajar adalah
siswa-siswa yang bermotivasi tinggi. Ini memberikan indikasi bahwa guru yang
mengajar di bawah tekanan (kepala sekolah) agar lebih mengontrol siswa, dapat
berakibat rendahnya nilai (hasil belajar) siswa.
2. Konteks sosial kelas.Sejumlah kajian yang disimpulkan oleh Salomon mengungkapkan bahwa strategi pengelolaan kelas dari guru, dan
iklim kelas memiliki keterkaitan yang cukup eart dan saling mempengaruhi
satu sama lain. Saling ketergantungan demikian juga terlihat antara konteks
sosial kelas dangan hasil belajar siswa. Dalam hal ini, ternyata kelas dengan
pola persahabatan yang bersifat suportif, memperkuat belajar, sementara kelas
dengan hubungan yang bersifat tekanan-tekanan menghalangi belajar.
3. Konteks ketaatan atau ketidaktaatan guru
terhadap aturandalam pengajaran, perspektif dan tujuan-tujuan yang bersifat a
priori dan lainnya.
Satu hal penting lainnya yang menurut Salomon perlu diperhatikanadalah hubungan antara konteks dan belajar. Dipercaya bahwa konteks dan
belajar berpengaruh timbal balik, khususnya untuk kasus yang mempunyai hubungan yang
cukup dekat. Misalnya, konteks kelas riil, pesan instruksional, dan
hasil belajar cukup dekat satu sama lain, sehingga memungkinkan punya pengaruh
timbal balik.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa, konteks pembelajaran yang
memberikan beban memproses informasi lebih besar pada siswa, mem-berkan manfaat lebih besar pada siswa-siswa
yang berkemampuan lebih tinggi; sementara sebaliknya, konteks instruksional
yang lebih bersifat didaktis, tertu-tup dan yang memberikan pengarahan-pengarahan
yang eksplisit, menguntung-kan siswa-siswa yang berkemampuan lebih rendah. Tapi, jikaada sejumlah siswa memperlihatkan prestasi rendah dalam suatu konteks,
pengajaran diarah-kan lebih banyak terhadap mereka.Perlu ditegaskan bahwa proses timbal
balik demikian hanya dapat terjadi di bawah satu kondisi, yaitu jika hasil
belajar siswa dipandang lebih
responsif terhadap konteks.
B.
Konteks dalam Komunikasi Interpersonal
Pada umumnya orang berusaha untuk menyesuaikan
tingkah laku mereka terhadap tuntutan dari konteks agar mereka tidak dipersepsikan orang sebagai
pembuat bencana, menyimpang, gila, jelek, ataupun bodoh. Di samping itu,
seseorang juga memberikan makna atas perilaku orang lain berdasarkan konteks. Misalnya, orang memberikan makna berbeda terhadap kegagalan di
sekolah.Ada yang memandang dari konteks rendahnya kemampuan, kurang-nya usaha, atau nasib jelek.
Seadangkan komunkasi interpersonal
merupakan interaksi tatap muka antara dua orang atau lebih, dimana pengirim
dapat menyampaikan pesan secara langsung dan penerima juga dapat secara
langsung memberikan respon. Pada umumnya konteks interpersonal mempengaruhi jenis pertukaran pesan
yang terjadi, dan begitu pula sebaliknya.Namun terkadang kita mengabaikan konteks dan
melihat segala sesuatu sebagai ujud dari watak negatif seseorang.
Jadi, komunikasi interpersonal
melibatkan 4 elemen dasar yaitu: pribadi yang melakukan komunikasi, pesan atau
materi yang disampaikan, media dan tujuan penyampaian pesan. Oleh karena itu, ada
banyak konteks yang berpengaruh dalam komunikasi interpersonal. Baik konteks
situasional, konteks bawaan ataupun konteks kepribadian. Selain konteks,
komunikasi interpersonal juga dipengaruhi oleh persepsi interpersonal, konsep
diri, atraksi interpersonal, dan hubungan interpersonal. Perhatian terhadap
masing-masing faktor ini akan berpengaruh terhadap keberhasilan komunikasi, namun jika terjadi kesalahan dalam membri makna
terhadap pesan akan menimbulkan kegagalan komunikasi.
C.
Konteks dalam Komunikasi Bermedia.
Konteks waktu dan tempat kejadian
akan mempengaruhi cara media mempengaruhi suatu komunikasi, bahkan media itu
sendiri juga berperan sebagai konteks. Perbedaan esensi dalam suatu media tidak
terjadi karena isi ataupun modus penggunaannya, melaikan karena sistem lambang
yang digunakannya. Modus presentasi yang berbeda ini berperan sebagai konteks
pemaknaan dalam dua cara: (1) lambang yang berbeda diproses oleh keterampilan
mental yang berbeda, (2) isi yang sama jika dipresentasikan dengan lambang yang
berbeda akan menghasilkan informasi yang berbeda. Namun, konteks yang
menentukan cara kita menggarap sistem lambang dalam media lebih kuat
dipengaruhi oleh skemata-mental dari pada oleh sistem lambang dalam media
tersebut.
Dalam komunikasi, sistem lambang berperan sebagai konteks melalui dua cara:
1. Orang merecode pesan ke dalam modus
representasi internal, sementara banyaknya langkah-langkah recoding menentukan
"kemudahan" dari pesan serta kerealisannya. Sistem lambang internal
ini adalah konteks yang memerankan fungsi pemaknaan.
2. Sistem lambang merupakan standar yang akan digunakan terhadap
pesan. Bila standar tersebut berupa standar piktoral, karakteristik tertentu
dari pesan menjadi relevan, dan menunjukkan ada serta pentingnya karakteristik
lain. Standar demikian adalah konteks yang memerankan fungsi normatif. Ini
karena ia memberi petunjuk karakteristik pesan yang relevan serta terindikasi.
Jadi ada fungsi pemaknaan dan ada fungsi normatif.Semua ini berimplikasi pada dua hal. Pertama, bila sifat hakiki dari
presentasi media sangat bergantung pada bagaimana modus presentasinya dikontekstualisasikan oleh si
penerima, maka jenis konteks mental yang di gunakan pada presentasi media
haruslah menjadi kepedulian dari si pendidik. TV biasanya didekati sebagai media
yang "mudah" oleh sistem lambang yang bersifat piktoral. Tambahan
lagi, ia membangun ekspektasi bahwa untuk memahami isi TV tidak diperlukan AIME
yang besar. Untuk mengubah persepsi/ekspektasi anak-anak tentang media (khusus
TV) harus dicoba mengajar anak-anak mengkontekstualisasikan TV dengan cara
berbeda. Anak-anak diajar bahwa sifat depiksi dari media tidak harus bersifat
realistis. Artinya, diusahakan tidak menghubungkan standar piktoral dengan
asumsi mengenai realisme.
Kedua, beralasan untuk diduga bahwa perjumpaan
sebelumnya dengan presentasi media memberi imej tertentu pada anak, dan juga kebenarannya. Anak-anak yang
belajar dari tontonan TV secara berlebihan, akan berpikir sesuai sistem lambang
TV. Artinya, setelah menginternalisasikan sistem lambang (dalam hal ini TV), kelak ini akan digunakan
sebagai konteks terhadap kejadian-kejadian yang baru (berikutnya).
Anak-anak perlu diajar secara seimbang. Orang/anak-anak
harus mampu berpikir mengenai hubungan-hubungan matematika dari segi vektor spatial,
proposisi, dan merumuskan secara saling dipertukarkan. Anak-anak juga harus
mampu berpikir mengenai orang lain dari segi kata-katanya, dari imejnya,
suaranya, dan lainnya (ingat bahwa kita cenderung berpikir mengenai orang lain
dari segi imej, sementara mengenai diri dari segi proposisi). Tujuan mengajar
anak-anak mengkontekstualisasikan kejadian-kejadian baru dalam sistem lambang berbeda, tidaklah berarti
memperkuat satu modus kognitif dengan mengorbankan modus lainnya; tujuannya
adalah untuk membantu anak-anak menggunakan sistem-sistem lambang secara saling
dipertukarkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar